Rabu, (9 Juli 2025) menjadi hari yang penuh makna bagi Mahasiswa KKN Kelompok 6 IAI Khozinatul Ulum Blora. Di tengah hangatnya pagi, mereka melangkah ke sebuah rumah sederhana di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong. Rumah itu milik Ibu Kartini, sosok perempuan tangguh berusia 75 tahun yang telah 25 tahun mengabdikan hidupnya untuk memproduksi tempe, bukan sembarang tempe -tempe yang dibungkus dengan daun jati.
Kedatangan para mahasiswa disambut ramah oleh seluruh keluarga Ibu Kartini. Tidak ada jarak antara mereka. Seolah tamu dan tuan rumah adalah bagian dari satu keluarga besar yang telah lama saling mengenal. Keakraban itu tercermin dari cara Ibu Kartini mengajak mereka langsung melihat bahkan membantu proses pembuatan tempe di dapurnya.
Sejak pukul 03.00 dini hari, Ibu Kartini sudah memulai aktivitasnya. Kedelai yang telah diselep kemudian diragikan, direbus menggunakan kayu bakar selama kurang lebih satu jam hingga airnya surut. Pilihan menggunakan kayu bakar bukan tanpa alasan. Api yang besar dan stabil membuat kedelai matang sempurna. Bagi Ibu Kartini, kayu bakar adalah kunci dari rasa tempe yang khas dan tidak bisa digantikan oleh kompor gas.
Setelah proses perebusan, kedelai didinginkan dan mulai dibungkus menggunakan daun jati yang telah disiapkan sebelumnya. Inilah ciri khas dari tempe buatan Ibu Kartini dibungkus rapi dan alami dengan daun jati yang tak hanya memberi aroma khas, tapi juga memperpanjang daya tahan tempe.
Dalam sehari, Ibu Kartini memproduksi sekitar 10 ikat tempe. Harga jualnya sangat terjangkau: per biji hanya Rp 2.000 hingga Rp 3.000, sedangkan satu ikat dihargai antara Rp 10.000, Rp 15.000, hingga Rp 25.000 tergantung ukuran dan permintaan. Tempe-tempe ini kemudian dititipkan ke warung-warung sekitar atau disalurkan berdasarkan pesanan warga.
Melihat proses produksi yang penuh ketekunan dan sentuhan tradisi itu, para mahasiswa KKN tampak begitu antusias. Mereka tak segan ikut membantu membungkus tempe menggunakan daun jati, mempelajari langkah demi langkah yang dikerjakan dengan sabar oleh Ibu Kartini. Mereka bukan hanya belajar tentang makanan tradisional, tapi juga menyerap nilai-nilai ketekunan, kerja keras, dan kemandirian yang terpancar dari setiap gerakan tangan perempuan tua itu.
Mohammad Fadil, Koordinator Desa KKN Kelompok 6, mengungkapkan rasa syukur dan antusiasme atas kesempatan belajar langsung dari pelaku UMKM lokal. “Kita diterima dengan sangat baik. Ini pengalaman berharga, karena kami bisa belajar langsung tentang proses pembuatan tempe godong jati yang menjadi ciri khas desa ini. Kami juga merencanakan program kerja untuk mengembangkan UMKM ini,” ujarnya.
Salah satu program yang akan dilakukan adalah penginputan lokasi UMKM Tempe Daun Jati ke Google Maps agar lebih mudah ditemukan masyarakat luas. Selain itu, mereka juga berencana membuat video dokumenter tentang proses pembuatan tempe ini, lalu mengunggahnya ke media sosial sebagai bentuk promosi sekaligus pelestarian kearifan lokal.
Kisah Ibu Kartini bukan sekadar tentang tempe. Ini tentang keberanian seorang perempuan untuk bertahan, untuk hidup, dan memberi inspirasi. Di dapur sederhana itu, daun jati bukan hanya pembungkus makanan ia adalah saksi bisu keteguhan hati dan cinta seorang ibu terhadap hidup yang terus berjalan, meski perlahan, tapi tak pernah lelah.